Rabu, 28 Juli 2010


Suara Anak Indonesia 2010

Kami anak Indonesia, pada hari Kamis 22 Juli 2010
melalui Kongres Anak Indonesia IX 2010 di Pangkal Pinang
merumuskan dan menyampaikan aspirasi dan pandangan


1. Kami anak Indonesia bertekad dan mengajak seluruh anak Indonesia bersatu padu berpegangan tangan, saling toleransi, menghargai perbedaan, untuk berbuat yang terbaik demi bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia
2. Kami anak Indonesia memerlukan dukungan pemerintah untuk memfasilitasi forum-forum anak di daerah dan Kongres Anak Indonesia sebagai mekanisme nasional pemenuhan hak partisipasi anak
3. Kami anak Indonesia, memohon kepada pemerintah untuk menyediakan rumah perlindungan bagi anak- anak yang membutuhkan perlindungan khusus sepert anak terlantar, anak korban kekerasan, anak korban perdagangan, anak korban bencana dan anak yang berhadapan dengan hukum di setiap kabupaten, Kota dan propinsi.
4. Kami anak Indonesia, mengusulkan agar mendahulukan mediasi sebagai proses penyelesaian bagi kasus anak – anak yang berhadapan dengan hukum.
5. Kami anak Indonesia, mendukung peningkatan APBN untuk alokasi pendidikan agar kualitas dan fasilitas pendidikan merata di seluruh Indonesia termasuk bagi teman-teman kami yang berkebutuhan khusus.
6. Kami anak Indonesia memerlukan jaminan kesehatan khusus anak dengan membebaskan biaya kesehatan bagi anak.
7. Kami anak Indonesia bertekad mempersatukan teman-teman kami yang berada di daerah terpencil, daerah terisolir, daerah perbatasan dengan adanya dukungan sarana dan prasarana yang memadai.
8. Kami anak Indonesia, memohon perlindungan dari bahaya rokok sebagai zat adiktif dengan melarang iklan rokok, menaikan harga rokok, membuat peringatan bergambar pada bungkus rokok dan menjauhkan akses anak anak dari rokok.


Pangkal Pinang, 22 Juli 2010
Atas nama anak Indonesia

Duta Pendidikan
1. Newton Bernoully Saylendra Jefons (NTT)
2. Syafnela Rahmawaty (Sumbar)
Duta Kesehatan
3. I Ketut Hari Putra Susanto (Bali)
4. Rafa Zhafirah Amaani (Kepulauan Riau)
Duta Perlindungan Khusus
5. Teus Tabuni (Papua)
6. Boy Al Idrus (Sumbar)
Duta Partisipasi
7. Nitia Agustini Kala Ayu (NTB)
8. Muhammad Nur Firdaus (Jawa Timur)
Duta Jaringan Anak
9. Muhammad Deden Suratman (Banten)
10. Ajeng Diannitari (Jambi)


Pimpinan Sidang
Sri Mahadana, Ketua (Bali)
Francklin SPN, Sekretaris (NTT)
Indah Darapuspa, Anggota (Kepri)

PERJALANAN DEKLARASI SUARA ANAK INDONESIA


Sejak Kongres Anak Indonesia I tahun 2000, Suara Anak Indonesia selalu dibacakan dan disampaikan langsung kepada pemerintah, baik Presiden, Wapres maupun pimpinan DPR RI. Hal ini karena Suara Anak yang dirumuskan oleh sekitar 300 orang anak dari seluruh Indonesia merupakan masukan dan partisipasi dari anak dalam pembangunan yang merupakan implementasi Hak Partisipasi anak yang dijamin oleh Konvensi PBB tentang Hak Anak dan Pasal 10 UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002.

Suara Anak Indonesia merupakan hasil akhir dari proses panjang Kongres anak Indonesia. Perjalanan yang harus dilalui mulai dari :

1. Rekomendasi daerah yang dihasilkan dari Forum Anak daerah di setiap Propinsi

2. Penyusunan Draft Materi Komisi yang dilakukan oleh fasilitator anak pada TOT Fasilitator Anak

3. Presentasi hasil Forum Anak Daerah yang disampaikan oleh perwakilan delegasi setiap propinsi

4. Sidang Komisi-komisi yang dipimpin oleh pimpinan sidang komisi. (Komisi Kesehatan, komisi pendidikan, komisi perlindungan khusus, komisi partisipasi, komisi jaringan anak)

5. Pleno hasil sidang Komisi yang dipimpin oleh presidium sidang

6. Sidang perumusan rekomendasi oleh Tim Kecil Rekomendasi yang terdiri dari 10 orang perwakilan Komisi (setiap komisi diwakili oleh 2 orang).

7. Finalisasi suara anak oleh 10 Duta anak terpilih dan presidium sidang.

8. Deklarasi Suara Anak, yang dibacakan oleh 2 orang perwakilan anak yang dipilih oleh peserta kongres.

Kisah deklarasi Suara Anak Indonesia dari tahun ke tahun :

  1. Kongres Anak Indonesia I tahun 2000 di Jakarta menghasilkan Rekomendasi Anak Indonesia, dibacakan dan disampaikan kepada Pimpinan DPR RI.
  2. Kongres Anak Indonesia II tahun 2001 di Jakarta menghasilkan Rekomendasi Kongres Anak Indonesia II, dibacakan dan disampaikan kepada Wapres.
  3. Kongres Anak Indonesia III tahun 2003 di Bali, menghasilkan Deklarasi anak indonesia 2001, dibacakan dan disampaikan kepada Wapres.
  4. Kongres Anak Indonesia IV 2004 di Yogyakarta, menghasilkan “Hasil sidang Komisi Deklarasi” dibacakan dan disampaiakn kepada Pimpinan DPR RI.
  5. Kongres Anak Indonesia V 2005 di Jakarta, menghasilkan Suara Anak Indonesia 2005, dibacakan dan disampaikan kepada Presiden SBY pada peringatan Hari Anak Nasional di TMII. Presiden merespon dengan menyoroti penggunaan kata “mendesak pemerintah”...
  6. Kongres Anak Indonesia VI 2006 di Depok menghasilkan Suara Anak Indonesia 2006. Sejak awal rapat HAN, panitia tidak bersedia memberi waktu kepada anak untuk membacakan Suara anak Indonesia. Diduga karena pada tahun sebelumnya (2005) Suara Anak menggunakan kata “mendesak pemerintah...”. Namun kemudian, suara anak Indonesia dibacakan dan disampaikan kepada Pimpinan DPR RI.
  7. Kongres Anak Indonesia VII 2008 di Bogor, menghasilkan Suara anak Indonesia 2008, dibacakan dan disampaikan kepada Presiden SBY pada acara puncak HAN di Taman Mini. Sebelum pembacaan, panitia meminta agar point 6 tidak dibacakan. Anak-anak tak kuasa menolak permintaan panitia tersebut. Presiden SBY menyambut baik pembacaan suara anak, bahkan beliau menginstruksikan kepada seluruh Menteri dan Gubernur, Walikota/Bupati untuk menindaklanjuti suara anak Indonesia 2008.
  8. Kongres Anak Indonesia VIII 2009 di Depok, menghasilkan Suara Anak Indonesia 2009. Sebelum dibacakan, terlebih dahulu diedit oleh Panitia HAN 2009, walau tidak merubah substansi namun menjadi bias karena diintreprestasikan oleh orang dewasa. Sayangnya pada tahun 2009 Presiden tidak menghadiri acara puncak HAN, karena alasan keamanan, waktu itu baru terjadi pemboman di JW Mariot. Suara anak Indonesia tetap dibacakan di depan Meneg PP, Mendiknas, Mensos dan Menteri lainnya.
  9. Kongres Anak Indonesia IX 2010 di Pangkal Pinang Propinsi Bangka Belitung, menghasilkan Suara Anak Indonesia 2010. Sejak awal rapat panitia HAN 2010, pembacaan suara anak sudah dijadwalkan, bahkan beberapa menit sebelum mulai acara masih terjadwal jam 09.12 – 09.17 WIB. Dua perwakilan anak, Arif dan Maesya terbang dari Pangkal Pinang sehari sebelumnya untuk melakukan gladi resik. Sayangnya beberapa menit kemudian, mereka dipanggil protokol dan diberitahu bahwa suara anak tidak jadi dibacakan.

Deretan pertanyaan yang tak terjawab

· Pertanyaan pertama, mengapa protokol menyampaikan langsung kepada anak? Padahal pendampingnya, orang dewasa, ada bersama mereka.

· Pertanyaan kedua, kalau isinya yang menjadi masalah, kenapa tidak dicoret saja seperti pada HAN 2008?

· Pertanyaan ketiga, mengapa dari sederet agenda acara puncak HAN 2010, pembacaan suara anak yang dibatalkan, yang hanya mengambil waktu 5 menit?

· Pertanyaan keempat, siapakah yang tidak ingin suara anak dibacakan?

· Pertanyaan kelima apakah Presiden SBY mengetahui ada agenda pembacaan suara anak yang pada tahun 2008 beliau sangat menyambut baik?

· Pertanyaan keenam, siapa yang terganggu dengan isi suara anak Indonesia 2010?

· Pertanyaan ketujuh, kalau pemerintah Indonesia melaporkan Kongres Anak Indonesia kepada Konvensi Hak anak PBB sebagai kegiatan bidang partisipasi pada Periodic Report Convention on the Right of the Child, mengapa pemerintah tidak mau menerima dan mendengarkan suara anak indonesia yang nerupakan hasil kongres anak indonesia?

Mari tanyakan pada rumput yang bergoyang ? seperti ungkapan Kak Seto ketika menjawab pertanyaan presenter TV One pada apa kabar petang, 23 juli 2010 yang lalu....

Senin, 21 Juni 2010

SEGERA, Lindungi Anak Dari Eksploitasi Rokok Sebagai Zat Adiktif

SEGERA, Lindungi Anak Dari Eksploitasi

Rokok Sebagai Zat Adiktif

Setiap detik yang tertunda akan memperpanjang daftar anak yang menjadi

korban eksploitasi rokok sebagai zat adiktif

Sampai pertengahan tahun 2010, Komnas Perlindungan Anak memantau ada 6 kasus balita yang kecanduan rokok, dari 5 batang per hari sampai 40 batang per hari. Dengan rentang usia mulai merokok 18 bulan sampai usia 4 tahun dan lama masa merokok sekitar 1,5 tahun sampai 2 tahun.

Ini bukan perkara biasa atau hal yang lucu, para balita ini adalah korban dari eksploitasi zat adiktif yang ”legal” yaitu rokok. Betapa orang tua tak berdaya untuk menghentikan ketergantungan balitanya terhadap zat adiktif ”legal” ini. Para balita pecandu rokok ini akan marah, mengamuk dan tidak mau makan bahkan mengeluh sakit kepalanya apabila tidak diberi rokok. Parahnya lagi, keluarga balita ini adalah keluarga miskin yang tak memiliki akses kesehatan dan informasi yang benar tentang rokok. Namun akses mereka terhadap rokok sangat mudah, karena harganya murah, dapat dibeli dimana saja dan iklannya banyak. Akibatnya para orangtua menganggap hal ini bukan masalah besar ataupun kalau ingin menyembuhkan tak tahu harus kemana, hanya bisa berharap suatu saat pemerintah akan membantu.

Agresifitas pemasaran yang dilakukan industri rokok melalui berbagai iklan, promosi dan sponsorship menciptakan imej sekan-akan rokok adalah “barang normal” yang dapat dikonsumsi siapa saja. Faktanya, rokok adalah zat adiktif dan mengandung 4.000 racun berbahaya yang dapat mengganggu hidup dan tumbuh kembang anak seperti perkembangan paru-paru lambat, inteligensi kurang, infeksi saluran nafas, infeksi telinga, asma dan sebagainya. Dan yang paling berbahaya adalah kecanduan dan terjerat zat adiktif, seperti halnya para balita tesebut.

Pantaslah kita prihatin dan khawatir karena jumlah anak yang merokok mengalami lonjakan yang signifikan. Data Susenas menunjukan Prevalensi perokok yang mulai merokok pada usia 5 – 9 tahun meningkat lebih dari 4 kali lipat sepanjang tahun 2001 – 2004, sedangkan remaja usia 15 – 19 tahun meningkat sebanyak 144% selama tahun 1995 hingga 2004.

Konvensi PBB tentang Hak anak dan UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002, Pasal 59 memastikan bahwa pemerintah berkewajiban untuk memberikan perlindungan khusus(Children Need Special Protection) bagi anak-anak yang menjadi korban zat adiktif. Sementara itu, UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009, Pasal 113 ayat 2 dengan jelas mengatakan bahwa rokok adalah zat adiktif. Karena itu, sudah jelas kedua Undang-undang tersebut memberikan mandat yang kuat bagi pemerintah untuk SEGERA memastikan anak-anak mendapat perlindungan khusus yang sama urgensinya dengan perlindungan anak dari tindak kekerasan, traficking, situasi darurat, penculikan,eksploitasi dan lainnya.

Karena itu, Komnas Perlindungan Anak mendesak agar Pemerintah SEGERA memastikan adanya jaminan perlindungan bagi anak dari zat adiktif. Fenomena balita yang kecanduan rokok merupakan bukti kelalaian pemerintah dalam menjamin hak hidup dan tumbuh kembang anak yang tak dapat dikurangi sedikitpun. Tidak ada pilihan kecuali SEGERA ! Upaya untuk memperlambat, menunda apalagi meniadakan kepastian perlindungan bagi anak hanya akan memperpanjang daftar anak-anak yang menjadi korban eksploitasi rokok sebagai zat adiktif.

Kelegalan industri rokok dalam mengiklankan produknya tidaklah setara dengan melindungi dan menjamin hak hidup dan tumbuh kembang anak (right to life) yang menjadi prioritas pemerintah <http://uk.finance. yahoo.com/ news/tobacco- reform-pressures -rise-in- indonesia- ftimes-da3befeb2 ef1.html? x=0> . Karena itu, SEGERA ! berikan kepastian perlindungan bagi anak-anak, karena padanya kita tidak dapat menjawab besok, sebab ia dijuluki hari ini…

Kita melakukan banyak kekeliruan dan kesalahan

Tapi kejahatan kita yang utama adalah

MENGABAIKAN ANAK......

MENYEPELEKAN MATA AIR KEHIDUPAN....

Banyak kebutuhan kita dapat ditunda

Tapi anak tidak dapat MENUNGGU....

Kini saatnya tulang belulangnya dibentuk

Darahnya dibuat, dan Nalurinya dikembangkan

Padanya kita tidak dapat menjawab, BESOK !!

Sebab ia dijuluki “HARI INI

(Gabriella Mistral, Children Winner Of Nobel Prize for Poetry)

Senin, 26 Januari 2009

Cerita Dari Padang Panjang 26 Januari 2009


Setelah skor sidang Komisi B-1 (yang membahas masalah rokok) dari jam 10.30 sampai jam 14.00 waktu Padang Panjang, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan oleh Tim Perumus yang terdiri dari 8 orang ulama mewakili daerah (diantaranya Jawa Tengah dan NTB), maka pada jam 16.00 langsung diplenokan dengan pimpinan sidang Bp. Ma'ruf Amin (ketua komisi Fatwa MUI). Suasana terasa tegang, ketika membuka sidang pimpinan sidang mencoba melakukan pencairan suasana dengan memberikan himbauan dan guyonan ala ulama.

Ditetapkan pleno dimulai dari Komisi C yang membahas masalah hukum dan perundang-undangan dll. Menjelang jam 17.00 waktu Padang Panjang akhirnya sampailah pada pleno Komisi B-1.Setelah membahas Zakat dan Wakaf, dilanjutkan dengan bahasan masalah rokok yang disampaikan oleh DR. Hasanudin, MAg. Beliau menyampaikan kesepakatan Tim perumus sbb :
1. Sepakat rokok tidak wajib, tidak sunnah dan tidak mubah
2. Merokok dilarang, dengan perbedaan tingkat larangan. Sebagian haram dan sebagian makruh.
3.Jumhur ulama sepakat ROKOK HARAM
4. Tim perumus menyepakati pembahasan Masalah Rokok selanjutnya dilimpahkan kepada MUI Pusat

Ketika point 2 dan 3 dibacakan, saat itu tepuk tangan dukungan dari hadirin terdengar ramai. Kemudian dilanjutkan dengan banyaknya peserta yang meminta waktu kepada pimpinan sidang untuk menanggapi. Pimpinan sidang membatasi hanya 6 orang penanggap. Dua orang penanggap pertama yaitu dari DKI dan Jateng, memprotes poin 3 sedangkan 4 penanggap lainnya sebagian memperkuat sebagian lagi memngambangkan.

Saat itu masih banyak penanggap yang minta waktu tetapi pimpinan sidang mengarahkan peserta untuk memilih kesepakatan apakah KHILAFIYAH ANTARA HARAM DAN MAKRUH atau menyerahkan kepada MUI Pusat untuk membahas hal ini lebih lanjut. Terasa sekali pimpinan sidang mengarahkan peserta untuk memilih yang pertama yaitu Khilafiyah Antara Haram dan Makruh. Dan kemudian pimpinan sidang berhasil mendapatkan kesepakatan dari sidang unruk menetapkan hukum ROKOK ADALAH KHILAFIYAH ANTARA HARAM DAN MAKRUH. Kontan saja sebagian peserta interupsi tetapi pimpinan sidang meneruskan dengan meminta kesepakatan dari peserta untuk menetapkan HARAM MEROKOK DI TEMPAT UMUM, HARAM BAGI WANITA HAMIL DAN HARAM BAGI ANAK-ANAK. Dan dengan cepat peserta menyepakati hal itu.Kemudian pimpinan sidang secara spontan menambahkan bahwa bagi pengurus MUI haram merokok.

Keputusan forum yang sangat cepat, menimbulkan kembali interupsi dari peserta yang lain. Dalam kesempatan tersebut, ibu Fauziah Fauzan (pimpinan pesantren dinniyah putri padang panjang, tempat kegiatan berlangsung) menyampaikan keprihatinan dan pendapatnya. Beliau berkata, kita bukanlah penghianat, sampai kapan kita akan menunggu lagi dan membiarkan masalah ini mengambang. Mari tanya pada hati kecil kita. Saat itu, suasana sempat hening sesaat tapi kemudian riuh kembali. Bu Fauziah Fauzan meminta kepastian bahwa forum sepakat untuk mengharamkan ulama merokok. Dengan spontan lagi pimpinan sidang setuju mengharamkan ulama merokok, sehingga sidang dapat disudahi.

Jumat, 15 Agustus 2008

Kongres Anak Indonesia : Menuju Pemenuhan Hak Partisipasi Anak



Kongres Anak Indonesia :
Menuju Pemenuhan Hak Partisipasi Anak

“ Negara-negara peserta akan menjamin hak anak yang berkemampuan untuk menyatakan secara bebas pandangannya sendiri mengenai semua hal yang menyangkut anak itu, dengan diberikannya bobot yang layak pada pandangan-pandangan anak yang mempunyai nilai sesuai dengan usia dan kematangan dari anak yang bersangkutan.” (Konvensi Hak Anak, pasal 12 ayat 1)

“Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.” (Undang-Undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 10)

KHA dan UU No 23/2002 Tentang Perlindungan Anak, secara lugas merumuskan berbagai gagasan dalam memenuhi Hak Partisipasi Anak, seperti didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat usia dan kecerdasannya. Akan tetapi, bukan perkara mudah untuk merealisasikan gagasan tersebut dalam praktik di masyarakat. Karena lingkungan sosial dan masyarakat belum menyediakan mekanisme dan sarana dimana anak dapat menyampaikan dan didengar pendapatnya. Bahkan tak jarang terjadi eksploitasi dalam proses pemenuhan hak Partisipasi Anak.
Pemenuhan hak partisipasi anak sejak dini merupakan proses pembelajaran bagi anak dalam berdemokrasi dan membangun solidaritas dan kesatuan bangsa. Karena hal ini memberi ruang kepada anak untuk mengembangkan konsep diri positif, menerima dan menghargai perbedaan, mengetahui hak-haknya, dan mengetahui cara melindungi dirinya dari pelanggaran hak, sehingga anak bisa menjadi generasi yang dapat diandalkan.

Pada tahun 2000, Kongres Anak Indonesia I diselenggarakan di Jakarta, atas inisiasi Konsorsium Kongres Anak Indonesia yang terdiri dari berbagai unsur, baik pemerintah maupun berbagai lembaga yang bergerak pada perlindungan dan pemenuhan Hak Anak di Indonesia. Kongres Anak Indonesia merupakan “ijtihad” dari upaya penghargaan pendapat anak dan hak partisipasi anak juga sebagai upaya mengimplementasikan KHA dan UU No 23/2002, khususnya dalam hal penghargaan atas hak berpendapat anak dan hak berpartisipasi salah satu upaya untuk pemenuhan Hak Partisipasi Anak.

Sejak itu, Kongres Anak Indonesia terus berlangsung, KAI II tahun 2002 di Jakarta, KAI III tahun 2003 di Denpasar Bali, KAI IV tahun 2004 di Yogyakarta, KAI V tahun 2005 di Jakarta, dan KAI VI 2006 di Depok Jawa Barat. Dan sejak KAI V, tahun 2005, pelaksanaan Kongres Anak Indonesia merupakan bagian dari kegiatan Bidang Partisipasi Hari Anak Nasional yang merupakan agenda Nasional tahunan.

Hal yang paling mendasar dalam penyelenggaraan Kongres Anak Indonesia adalah bahwa seluruh proses -sejak Forum Anak Daerah yang dilakukan di setiap Propinsi sebelum pelaksanaan Kogres Anak Indonesia- menempatkan anak sebagai subjek. Mereka bukan saja mendapatkan informasi hak anak dan permasalahannya tetapi juga berpartisipasi secara langsung untuk mengembangkan kesadaran, pendapat, suara dan kemampuannya berkaitan dengan permasalahan yang mereka hadapi dan rasakan. Sehingga hasil kongres merupakan pikiran dan pandangan anak-anak tanpa intervensi orang dewasa. Orang dewasa hanya berperan menyediakan fasilitas dan sarana selama Kongres berlangsung.

Setiap tahun, Kongres Anak indonesia dihadiri oleh 330 orang anak usia 12 – 16 tahun dari seluruh Propinsi di Indonesia. Anak-anak dengan beragam latar belakang berbeda hadir untuk saling bertukar informasi dan pengalaman serta merumuskannya menjadi rekomendasi anak Indonesia.

Untuk memberdayakan anak-anak agar dapat memfasilitasi Kongres, maka sebelumnya dilakukan Pelatihan Fasilitator Anak (Training of trainers) dengan melibatkan 33 orang anak perwakilan dari setiap Propinsi dan 10 orang Duta Anak Indonesia tahun sebelumnya. Melalui Pelatihan Fasilitator Anak, anak-anak mendapatkan wawasan dan dilatih keterampilan untuk melaksanakan peran, fungsi dan tugas-tugas sebagai Fasilititator Anak. Selain itu, kegiatan ini akan membangun kerjasama antar Fasilitator dan menyiapkan draft-drat bahan dan materi kongres.

Adalah merupakan pengalaman yang sangat berharga ketika memfasilitasi anak-anak Indonesia dalam kongres ini. Menyaksikan semangat kebersamaan, kemampuan bertoleransi atas perbedaan, pendapat dan pandangan kritis ”ala” anak-anak dan ide-ide kreatif mereka menumbuhkan rasa optimis dan harapaan baru atas bangsa Indonesia yang lebih baik. Karenanya, mendengarkan dan mengahargai pendapat anak yang berkaitan dengan permasalahan mereka adalah merupakan upaya menyusun batu bata untuk mebangun masa depan Indonesia yang lebih ramah bagi anak Indonesia....... Semoga!!
Selamat Hari Anak Nasional 2008 !!!

Depok, 10 Juli 2008

(tulisan ini dimuat di Majalah Parent Juli 2008)

jangan larang anak merokok !!

Jangan Larang Anak Merokok!!

Pikiran bawah sadar kita selalu menerjemahkan kata-kata negative menjadi kebalikannya, misalnya kata ”jangan atau tidak boleh” diterjemahkan menjadi ”silakan” atau ”boleh”. Karena itu, pola komunikasi dalam pengasuhan dan pendidikan anak , ”diharamkan” menggunakan kata-kata negative seperti jangan atau tidak boleh. Sebaliknya menggunakan kata-kata positif dan perilaku yang dikehendaki, misalnya “ berjalan dengan hati-hati” (bukan : ”jangan lari-lari”), “bicaranya pelan-pelan ya...”.(bukan ”jangan ribut”).

Karena itulah, ketika kita melarang anak merokok, maka pikiran bawah sadarnya akan mengarahkan perhatiannya untuk merokok. Tak heran apabila anak dan remaja justru tertantang ketika kita melarang mereka merokok karena pikiran bawah sadar mereka langsung tertuju pada perilaku merokok. Perilaku merokok bagi mereka terlihat sebagai tanda bahwa seseorang dewasa, karena orang dewasa di sekitar mereka dibolehkan merokok. Dan jadilah anak-anak dan remaja kita merokok sebagai pembuktian kedewasaan.

Larangan merokok pada anak juga menempatkan anak sebagai objek/pelaku/tersangka/pelanggar peraturan, yang konsekwensinya mendapat hukuman dan sanksi atas perilaku tersebut. Padahal ketika anak atau remaja menjadi perokok, bukanlah pilihan bebas mereka. Lingkungan tumbuh kembangnya mengkondisikan anak dan remaja bahwa perilaku merokok adalah hal yang lumrah (bukan perbuatan melanggar hukum). Di setiap tempat dan waktu mereka melihat pola tingkah para perokok yang mungkin saja ayahnya, gurunya, pemimpinnya, abang atau kakaknya, idolanya atau panutannya yang merokok dengan memperlihatkan kenikmatan, kemachoan dan kekuatan. Hal ini bagi anak dan remaja yang sedang pada tahap the sense of identity, tahap mencari identitas, termasuk meniru, adalah pengkondisian yang sangat kondusif.

Belum lagi akses anak terhadap rokok sangaaaaaat mudah. Bahkan uang jajan minimum mereka (Rp.1000,-) dapat membeli 2 – 3 batang rokok. Dan itu dapat dibeli dimana saja, di warung-warung sekitar rumah dan sekolah, dimana mereka biasa membeli permen, atau snack kesukaan mereka. Sejauh ini tidak pernah ditemukan pemilik warung yang menolak untuk menjual rokok kepada anak, katanya “emang siapa yang larang?”

Tak Cuma itu, ketika anak-anak berada di rumah, bahkan di kamar sekalipun, mereka ditawari rokok melalui iklan di televisi, radio, koran dan majalah. Dan ketika keluar rumah maka sepanjang perjalanan berbagai billboard, spanduk dan poster terus menerus mengiming-imingi rokok dan menyajikan informasi bahwa rokok akan menjadikan mereka dewasa, jantan, hebat, enjoy, setia kawan dan sebagainya.

Kalau begitu, bagaimana kita menganggap anak atau remaja sebagai pesakitan ketika mereka merokok? Padahal kitalah yang membiarkan mereka tumbuh kembang dalam lingkungan syurga rokok. Hakikatnya, anak dan remaja adalah korban yang tak berdaya atas pengkondisian ini. Bagaimana mungkin mereka dapat menghindar dari serbuan 14.249 iklan rokok di media elektronik, luar ruang dan media cetak (evaluasi pengawasan iklan rokok tahun 2006, BPOM). Atau bagaimana mungkin mereka menolak 1350 kegiatan konser musik, film, olahraga, seni budaya yang disponsori rokok (Hasil pemantauan aktivitas industri rokok di Indonesia, Januari – Oktober 2007, Komisi Nasional Perlindungan Anak). Dan bagaimana mungkin mereka menolak rokok gratis yang dibagikan pada saat mereka menghadiri konser musik (14,4% anak usia 13 – 15 tahun pernah ditawari rokok gratis, global youth Tobacco Survey, 2006l) Ini bukanlah perkara mudah bagi anak untuk menghadapi rangkaian sistematis pengkondisian yang bertujuan untuk merekrut perokok pemula.

Bahkan peringatan bahaya merokokpun tidak efektif, karena menurut penelitian para ahli perkembangan manusia dari universitas Cornell Amerika Serikat, yang dirilis dalam Jurnal Ilmu Psikologi edisi September 2006, bahwa bagi anak-anak dan remaja nasihat dan informasi yang berisi bahaya rokok, narkoba, sex bebas sangatlah jarang berhasil. Lalu kalau sudah begitu, apa yang bisa kita lakukan agar anak-anak dan remaja kita tidak menjadi perokok?

Melarang dan menjadikan anak dan remaja perokok sebagai pesakitan dan diberi hukuman bukanlah pilihan yang tepat dan adil, karena mereka sebenarnya adalah korban atau yang dikorbankan oleh lingkungan tumbuh kembang mereka. Bahkan tidak menutup kemungkinan larangan merokok pada anak akan dijadikan “alibi” oleh industri rokok, bahwa “Kami (industri rokok) tidak menjual produk kami (rokok) kepada anak-anak, karena itu melanggar peraturan”.

Karena itu, cara dan jalan yang ditempuh haruslah cara yang berpresfektif pada prinsip kepentingan terbaik bagi anak, yang merupakan ruh dan semangat Konvensi Hak Anak dan Undang-undang Perlindungan Anak No.23/2002 yaitu PERLINDUNGAN terhadap hak dasar anak yaitu hak untuk hidup dan tumbuh kembang dalam lingkungan yang kondusif. Ini sejalan dengan komitmen Indonesia sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak, yang terikat pada kesepakatan yang dicanangkan Sidang Umum PBB tahun 2002 yaitu menciptakan a world fit for children.

Lalu, bentuk perlindungan seperti apa yang dibutuhkan oleh anak dan remaja agar mereka tidak menjadi perokok? Dari hasil TOT Tobacco Free Teens, yang diselenggarkan Komnas Perlindungan Anak 3-4 Februari 2007, dengan metode partisipatori, anak-anak dan remaja yang menjadi peserta merekomendasikan strategi untuk melindungi anak dan remaja dari bahaya rokok yaitu dengan membuat peraturan yang mengatur :
Menjauhkan akses anak terhadap rokok dengan :
Larangan penjualan rokok batangan,
Menaikkan harga rokok setinggi mungkin
Pembatasan tempat penjualan rokok
Larangan segala bentuk iklan, promosi dan sponsor rokok
Larangan merokok di tempat-tempat umum agar anak dan remaja tidak terpapar asap rokok

Maka, siapakah yang harus melindungi mereka (anak-anak)? Konstitusi kita memberi amanat suci ini kepada orangtua, masyarakat dan negara untuk menyelenggarakan perlindungan agar anak dapat tumbuh kembang dan kelak menerima tongkat estafet bangsa Indonesia....

(tulisan ini dimuat di www.koalisi.org, Mei 2008)