Jangan Larang Anak Merokok!!
Pikiran bawah sadar kita selalu menerjemahkan kata-kata negative menjadi kebalikannya, misalnya kata ”jangan atau tidak boleh” diterjemahkan menjadi ”silakan” atau ”boleh”. Karena itu, pola komunikasi dalam pengasuhan dan pendidikan anak , ”diharamkan” menggunakan kata-kata negative seperti jangan atau tidak boleh. Sebaliknya menggunakan kata-kata positif dan perilaku yang dikehendaki, misalnya “ berjalan dengan hati-hati” (bukan : ”jangan lari-lari”), “bicaranya pelan-pelan ya...”.(bukan ”jangan ribut”).
Karena itulah, ketika kita melarang anak merokok, maka pikiran bawah sadarnya akan mengarahkan perhatiannya untuk merokok. Tak heran apabila anak dan remaja justru tertantang ketika kita melarang mereka merokok karena pikiran bawah sadar mereka langsung tertuju pada perilaku merokok. Perilaku merokok bagi mereka terlihat sebagai tanda bahwa seseorang dewasa, karena orang dewasa di sekitar mereka dibolehkan merokok. Dan jadilah anak-anak dan remaja kita merokok sebagai pembuktian kedewasaan.
Larangan merokok pada anak juga menempatkan anak sebagai objek/pelaku/tersangka/pelanggar peraturan, yang konsekwensinya mendapat hukuman dan sanksi atas perilaku tersebut. Padahal ketika anak atau remaja menjadi perokok, bukanlah pilihan bebas mereka. Lingkungan tumbuh kembangnya mengkondisikan anak dan remaja bahwa perilaku merokok adalah hal yang lumrah (bukan perbuatan melanggar hukum). Di setiap tempat dan waktu mereka melihat pola tingkah para perokok yang mungkin saja ayahnya, gurunya, pemimpinnya, abang atau kakaknya, idolanya atau panutannya yang merokok dengan memperlihatkan kenikmatan, kemachoan dan kekuatan. Hal ini bagi anak dan remaja yang sedang pada tahap the sense of identity, tahap mencari identitas, termasuk meniru, adalah pengkondisian yang sangat kondusif.
Belum lagi akses anak terhadap rokok sangaaaaaat mudah. Bahkan uang jajan minimum mereka (Rp.1000,-) dapat membeli 2 – 3 batang rokok. Dan itu dapat dibeli dimana saja, di warung-warung sekitar rumah dan sekolah, dimana mereka biasa membeli permen, atau snack kesukaan mereka. Sejauh ini tidak pernah ditemukan pemilik warung yang menolak untuk menjual rokok kepada anak, katanya “emang siapa yang larang?”
Tak Cuma itu, ketika anak-anak berada di rumah, bahkan di kamar sekalipun, mereka ditawari rokok melalui iklan di televisi, radio, koran dan majalah. Dan ketika keluar rumah maka sepanjang perjalanan berbagai billboard, spanduk dan poster terus menerus mengiming-imingi rokok dan menyajikan informasi bahwa rokok akan menjadikan mereka dewasa, jantan, hebat, enjoy, setia kawan dan sebagainya.
Kalau begitu, bagaimana kita menganggap anak atau remaja sebagai pesakitan ketika mereka merokok? Padahal kitalah yang membiarkan mereka tumbuh kembang dalam lingkungan syurga rokok. Hakikatnya, anak dan remaja adalah korban yang tak berdaya atas pengkondisian ini. Bagaimana mungkin mereka dapat menghindar dari serbuan 14.249 iklan rokok di media elektronik, luar ruang dan media cetak (evaluasi pengawasan iklan rokok tahun 2006, BPOM). Atau bagaimana mungkin mereka menolak 1350 kegiatan konser musik, film, olahraga, seni budaya yang disponsori rokok (Hasil pemantauan aktivitas industri rokok di Indonesia, Januari – Oktober 2007, Komisi Nasional Perlindungan Anak). Dan bagaimana mungkin mereka menolak rokok gratis yang dibagikan pada saat mereka menghadiri konser musik (14,4% anak usia 13 – 15 tahun pernah ditawari rokok gratis, global youth Tobacco Survey, 2006l) Ini bukanlah perkara mudah bagi anak untuk menghadapi rangkaian sistematis pengkondisian yang bertujuan untuk merekrut perokok pemula.
Bahkan peringatan bahaya merokokpun tidak efektif, karena menurut penelitian para ahli perkembangan manusia dari universitas Cornell Amerika Serikat, yang dirilis dalam Jurnal Ilmu Psikologi edisi September 2006, bahwa bagi anak-anak dan remaja nasihat dan informasi yang berisi bahaya rokok, narkoba, sex bebas sangatlah jarang berhasil. Lalu kalau sudah begitu, apa yang bisa kita lakukan agar anak-anak dan remaja kita tidak menjadi perokok?
Melarang dan menjadikan anak dan remaja perokok sebagai pesakitan dan diberi hukuman bukanlah pilihan yang tepat dan adil, karena mereka sebenarnya adalah korban atau yang dikorbankan oleh lingkungan tumbuh kembang mereka. Bahkan tidak menutup kemungkinan larangan merokok pada anak akan dijadikan “alibi” oleh industri rokok, bahwa “Kami (industri rokok) tidak menjual produk kami (rokok) kepada anak-anak, karena itu melanggar peraturan”.
Karena itu, cara dan jalan yang ditempuh haruslah cara yang berpresfektif pada prinsip kepentingan terbaik bagi anak, yang merupakan ruh dan semangat Konvensi Hak Anak dan Undang-undang Perlindungan Anak No.23/2002 yaitu PERLINDUNGAN terhadap hak dasar anak yaitu hak untuk hidup dan tumbuh kembang dalam lingkungan yang kondusif. Ini sejalan dengan komitmen Indonesia sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak, yang terikat pada kesepakatan yang dicanangkan Sidang Umum PBB tahun 2002 yaitu menciptakan a world fit for children.
Lalu, bentuk perlindungan seperti apa yang dibutuhkan oleh anak dan remaja agar mereka tidak menjadi perokok? Dari hasil TOT Tobacco Free Teens, yang diselenggarkan Komnas Perlindungan Anak 3-4 Februari 2007, dengan metode partisipatori, anak-anak dan remaja yang menjadi peserta merekomendasikan strategi untuk melindungi anak dan remaja dari bahaya rokok yaitu dengan membuat peraturan yang mengatur :
Menjauhkan akses anak terhadap rokok dengan :
Larangan penjualan rokok batangan,
Menaikkan harga rokok setinggi mungkin
Pembatasan tempat penjualan rokok
Larangan segala bentuk iklan, promosi dan sponsor rokok
Larangan merokok di tempat-tempat umum agar anak dan remaja tidak terpapar asap rokok
Maka, siapakah yang harus melindungi mereka (anak-anak)? Konstitusi kita memberi amanat suci ini kepada orangtua, masyarakat dan negara untuk menyelenggarakan perlindungan agar anak dapat tumbuh kembang dan kelak menerima tongkat estafet bangsa Indonesia....
(tulisan ini dimuat di www.koalisi.org, Mei 2008)
Jumat, 15 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Assalamu'alaikum
Kakaaak!! Ngeblog juga ya..
Ini Ana kak di KL.. Hihi gak nyangka reunian disini.. Subhanallah. Rindu...
Tambah selebritis aja nih..hehe.
Kapan dong mampir ke KL? Oya kak, di sini iklan rokok minim banget, di tivi gak boleh, di jalanan juga gak ada.Di koran, susah nyari. Harga rokok mahal, di kedai ada larangan menjual kepada anak di bawah 18 th (meski banyak juga yang nyuri2 dan terang-terangan melanggar). PM bahkan turun langsung kempen eh kampanye "Tak Nak Merokok!" Tapi kenaikan angka perokok baru di kalangan anak dan remaja sepertinya signifikan juga lho meski persennya tidak separah di Indonesia. Mungkin perlu dicari tahu akar umbi penyebabnya apa. Wah bisa tuh bikin acara bareng dengan kementrian wanita dan keluarga disini! Sekurang-kurangnya studi banding untuk menurunkan persentase kenaikan perokok baru di kalangan generasi muda kita.. Bagaimana?
Posting Komentar