Jumat, 15 Agustus 2008

Kongres Anak Indonesia : Menuju Pemenuhan Hak Partisipasi Anak



Kongres Anak Indonesia :
Menuju Pemenuhan Hak Partisipasi Anak

“ Negara-negara peserta akan menjamin hak anak yang berkemampuan untuk menyatakan secara bebas pandangannya sendiri mengenai semua hal yang menyangkut anak itu, dengan diberikannya bobot yang layak pada pandangan-pandangan anak yang mempunyai nilai sesuai dengan usia dan kematangan dari anak yang bersangkutan.” (Konvensi Hak Anak, pasal 12 ayat 1)

“Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.” (Undang-Undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 10)

KHA dan UU No 23/2002 Tentang Perlindungan Anak, secara lugas merumuskan berbagai gagasan dalam memenuhi Hak Partisipasi Anak, seperti didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat usia dan kecerdasannya. Akan tetapi, bukan perkara mudah untuk merealisasikan gagasan tersebut dalam praktik di masyarakat. Karena lingkungan sosial dan masyarakat belum menyediakan mekanisme dan sarana dimana anak dapat menyampaikan dan didengar pendapatnya. Bahkan tak jarang terjadi eksploitasi dalam proses pemenuhan hak Partisipasi Anak.
Pemenuhan hak partisipasi anak sejak dini merupakan proses pembelajaran bagi anak dalam berdemokrasi dan membangun solidaritas dan kesatuan bangsa. Karena hal ini memberi ruang kepada anak untuk mengembangkan konsep diri positif, menerima dan menghargai perbedaan, mengetahui hak-haknya, dan mengetahui cara melindungi dirinya dari pelanggaran hak, sehingga anak bisa menjadi generasi yang dapat diandalkan.

Pada tahun 2000, Kongres Anak Indonesia I diselenggarakan di Jakarta, atas inisiasi Konsorsium Kongres Anak Indonesia yang terdiri dari berbagai unsur, baik pemerintah maupun berbagai lembaga yang bergerak pada perlindungan dan pemenuhan Hak Anak di Indonesia. Kongres Anak Indonesia merupakan “ijtihad” dari upaya penghargaan pendapat anak dan hak partisipasi anak juga sebagai upaya mengimplementasikan KHA dan UU No 23/2002, khususnya dalam hal penghargaan atas hak berpendapat anak dan hak berpartisipasi salah satu upaya untuk pemenuhan Hak Partisipasi Anak.

Sejak itu, Kongres Anak Indonesia terus berlangsung, KAI II tahun 2002 di Jakarta, KAI III tahun 2003 di Denpasar Bali, KAI IV tahun 2004 di Yogyakarta, KAI V tahun 2005 di Jakarta, dan KAI VI 2006 di Depok Jawa Barat. Dan sejak KAI V, tahun 2005, pelaksanaan Kongres Anak Indonesia merupakan bagian dari kegiatan Bidang Partisipasi Hari Anak Nasional yang merupakan agenda Nasional tahunan.

Hal yang paling mendasar dalam penyelenggaraan Kongres Anak Indonesia adalah bahwa seluruh proses -sejak Forum Anak Daerah yang dilakukan di setiap Propinsi sebelum pelaksanaan Kogres Anak Indonesia- menempatkan anak sebagai subjek. Mereka bukan saja mendapatkan informasi hak anak dan permasalahannya tetapi juga berpartisipasi secara langsung untuk mengembangkan kesadaran, pendapat, suara dan kemampuannya berkaitan dengan permasalahan yang mereka hadapi dan rasakan. Sehingga hasil kongres merupakan pikiran dan pandangan anak-anak tanpa intervensi orang dewasa. Orang dewasa hanya berperan menyediakan fasilitas dan sarana selama Kongres berlangsung.

Setiap tahun, Kongres Anak indonesia dihadiri oleh 330 orang anak usia 12 – 16 tahun dari seluruh Propinsi di Indonesia. Anak-anak dengan beragam latar belakang berbeda hadir untuk saling bertukar informasi dan pengalaman serta merumuskannya menjadi rekomendasi anak Indonesia.

Untuk memberdayakan anak-anak agar dapat memfasilitasi Kongres, maka sebelumnya dilakukan Pelatihan Fasilitator Anak (Training of trainers) dengan melibatkan 33 orang anak perwakilan dari setiap Propinsi dan 10 orang Duta Anak Indonesia tahun sebelumnya. Melalui Pelatihan Fasilitator Anak, anak-anak mendapatkan wawasan dan dilatih keterampilan untuk melaksanakan peran, fungsi dan tugas-tugas sebagai Fasilititator Anak. Selain itu, kegiatan ini akan membangun kerjasama antar Fasilitator dan menyiapkan draft-drat bahan dan materi kongres.

Adalah merupakan pengalaman yang sangat berharga ketika memfasilitasi anak-anak Indonesia dalam kongres ini. Menyaksikan semangat kebersamaan, kemampuan bertoleransi atas perbedaan, pendapat dan pandangan kritis ”ala” anak-anak dan ide-ide kreatif mereka menumbuhkan rasa optimis dan harapaan baru atas bangsa Indonesia yang lebih baik. Karenanya, mendengarkan dan mengahargai pendapat anak yang berkaitan dengan permasalahan mereka adalah merupakan upaya menyusun batu bata untuk mebangun masa depan Indonesia yang lebih ramah bagi anak Indonesia....... Semoga!!
Selamat Hari Anak Nasional 2008 !!!

Depok, 10 Juli 2008

(tulisan ini dimuat di Majalah Parent Juli 2008)

jangan larang anak merokok !!

Jangan Larang Anak Merokok!!

Pikiran bawah sadar kita selalu menerjemahkan kata-kata negative menjadi kebalikannya, misalnya kata ”jangan atau tidak boleh” diterjemahkan menjadi ”silakan” atau ”boleh”. Karena itu, pola komunikasi dalam pengasuhan dan pendidikan anak , ”diharamkan” menggunakan kata-kata negative seperti jangan atau tidak boleh. Sebaliknya menggunakan kata-kata positif dan perilaku yang dikehendaki, misalnya “ berjalan dengan hati-hati” (bukan : ”jangan lari-lari”), “bicaranya pelan-pelan ya...”.(bukan ”jangan ribut”).

Karena itulah, ketika kita melarang anak merokok, maka pikiran bawah sadarnya akan mengarahkan perhatiannya untuk merokok. Tak heran apabila anak dan remaja justru tertantang ketika kita melarang mereka merokok karena pikiran bawah sadar mereka langsung tertuju pada perilaku merokok. Perilaku merokok bagi mereka terlihat sebagai tanda bahwa seseorang dewasa, karena orang dewasa di sekitar mereka dibolehkan merokok. Dan jadilah anak-anak dan remaja kita merokok sebagai pembuktian kedewasaan.

Larangan merokok pada anak juga menempatkan anak sebagai objek/pelaku/tersangka/pelanggar peraturan, yang konsekwensinya mendapat hukuman dan sanksi atas perilaku tersebut. Padahal ketika anak atau remaja menjadi perokok, bukanlah pilihan bebas mereka. Lingkungan tumbuh kembangnya mengkondisikan anak dan remaja bahwa perilaku merokok adalah hal yang lumrah (bukan perbuatan melanggar hukum). Di setiap tempat dan waktu mereka melihat pola tingkah para perokok yang mungkin saja ayahnya, gurunya, pemimpinnya, abang atau kakaknya, idolanya atau panutannya yang merokok dengan memperlihatkan kenikmatan, kemachoan dan kekuatan. Hal ini bagi anak dan remaja yang sedang pada tahap the sense of identity, tahap mencari identitas, termasuk meniru, adalah pengkondisian yang sangat kondusif.

Belum lagi akses anak terhadap rokok sangaaaaaat mudah. Bahkan uang jajan minimum mereka (Rp.1000,-) dapat membeli 2 – 3 batang rokok. Dan itu dapat dibeli dimana saja, di warung-warung sekitar rumah dan sekolah, dimana mereka biasa membeli permen, atau snack kesukaan mereka. Sejauh ini tidak pernah ditemukan pemilik warung yang menolak untuk menjual rokok kepada anak, katanya “emang siapa yang larang?”

Tak Cuma itu, ketika anak-anak berada di rumah, bahkan di kamar sekalipun, mereka ditawari rokok melalui iklan di televisi, radio, koran dan majalah. Dan ketika keluar rumah maka sepanjang perjalanan berbagai billboard, spanduk dan poster terus menerus mengiming-imingi rokok dan menyajikan informasi bahwa rokok akan menjadikan mereka dewasa, jantan, hebat, enjoy, setia kawan dan sebagainya.

Kalau begitu, bagaimana kita menganggap anak atau remaja sebagai pesakitan ketika mereka merokok? Padahal kitalah yang membiarkan mereka tumbuh kembang dalam lingkungan syurga rokok. Hakikatnya, anak dan remaja adalah korban yang tak berdaya atas pengkondisian ini. Bagaimana mungkin mereka dapat menghindar dari serbuan 14.249 iklan rokok di media elektronik, luar ruang dan media cetak (evaluasi pengawasan iklan rokok tahun 2006, BPOM). Atau bagaimana mungkin mereka menolak 1350 kegiatan konser musik, film, olahraga, seni budaya yang disponsori rokok (Hasil pemantauan aktivitas industri rokok di Indonesia, Januari – Oktober 2007, Komisi Nasional Perlindungan Anak). Dan bagaimana mungkin mereka menolak rokok gratis yang dibagikan pada saat mereka menghadiri konser musik (14,4% anak usia 13 – 15 tahun pernah ditawari rokok gratis, global youth Tobacco Survey, 2006l) Ini bukanlah perkara mudah bagi anak untuk menghadapi rangkaian sistematis pengkondisian yang bertujuan untuk merekrut perokok pemula.

Bahkan peringatan bahaya merokokpun tidak efektif, karena menurut penelitian para ahli perkembangan manusia dari universitas Cornell Amerika Serikat, yang dirilis dalam Jurnal Ilmu Psikologi edisi September 2006, bahwa bagi anak-anak dan remaja nasihat dan informasi yang berisi bahaya rokok, narkoba, sex bebas sangatlah jarang berhasil. Lalu kalau sudah begitu, apa yang bisa kita lakukan agar anak-anak dan remaja kita tidak menjadi perokok?

Melarang dan menjadikan anak dan remaja perokok sebagai pesakitan dan diberi hukuman bukanlah pilihan yang tepat dan adil, karena mereka sebenarnya adalah korban atau yang dikorbankan oleh lingkungan tumbuh kembang mereka. Bahkan tidak menutup kemungkinan larangan merokok pada anak akan dijadikan “alibi” oleh industri rokok, bahwa “Kami (industri rokok) tidak menjual produk kami (rokok) kepada anak-anak, karena itu melanggar peraturan”.

Karena itu, cara dan jalan yang ditempuh haruslah cara yang berpresfektif pada prinsip kepentingan terbaik bagi anak, yang merupakan ruh dan semangat Konvensi Hak Anak dan Undang-undang Perlindungan Anak No.23/2002 yaitu PERLINDUNGAN terhadap hak dasar anak yaitu hak untuk hidup dan tumbuh kembang dalam lingkungan yang kondusif. Ini sejalan dengan komitmen Indonesia sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak, yang terikat pada kesepakatan yang dicanangkan Sidang Umum PBB tahun 2002 yaitu menciptakan a world fit for children.

Lalu, bentuk perlindungan seperti apa yang dibutuhkan oleh anak dan remaja agar mereka tidak menjadi perokok? Dari hasil TOT Tobacco Free Teens, yang diselenggarkan Komnas Perlindungan Anak 3-4 Februari 2007, dengan metode partisipatori, anak-anak dan remaja yang menjadi peserta merekomendasikan strategi untuk melindungi anak dan remaja dari bahaya rokok yaitu dengan membuat peraturan yang mengatur :
Menjauhkan akses anak terhadap rokok dengan :
Larangan penjualan rokok batangan,
Menaikkan harga rokok setinggi mungkin
Pembatasan tempat penjualan rokok
Larangan segala bentuk iklan, promosi dan sponsor rokok
Larangan merokok di tempat-tempat umum agar anak dan remaja tidak terpapar asap rokok

Maka, siapakah yang harus melindungi mereka (anak-anak)? Konstitusi kita memberi amanat suci ini kepada orangtua, masyarakat dan negara untuk menyelenggarakan perlindungan agar anak dapat tumbuh kembang dan kelak menerima tongkat estafet bangsa Indonesia....

(tulisan ini dimuat di www.koalisi.org, Mei 2008)